Sabtu, 23 September 2017

AMPLOP ABU ABU


oleh: KH. A. Mustofa Bisri

Kejadian ini mula-mula aku anggap biasa, tapi setelah berulang sampai lima-enam kali, aku jadi kepikiran. Sudah lima-enam kali kejadian itu, jadi sudah cukup alasan untuk tidak menganggapnya sesuatu yang kebetulan. Di bulan-bulan tertentu, sebagai mubalig, aku harus keliling ke daerah-daerah, memenuhi permintaan mengisi pengajian.

Bulan Muharram memberi pengajian dalam rangka memperingati Tahun Baru Hijriah. Bulan Mulud, Rabi’ul Awal, dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Bulan Rajab, dalam rangka Isra' Mi'raj. Bulan Sya’ban,dalam rangka Haflah Akhir Sanah atau Ruwahan. Bulan Ramadan, dalam rangka Nuzulul Qur’an. Bulan Syawal dalam rangka Halal-bi-Halal.

Belum lagi pengajian-pengajian dalam rangka Walimah Perkawinan, Khitanan, dan lain sebagainya. Capek juga.

Kadang-kadang ingin sekali aku menghentikan kegiatan yang menguras energi ini. Bayangkan, seringkali aku harus menempuh jarak ratusan kilometer dan tidak jarang lokasi pengajian sulit ditempuh dengan kendaraan roda empat, hanya untuk berbicara sekitar satu jam. Kemudian setiap kali pulang larut malam, galibnya menjelang Subuh baru sampai rumah.

Tentu saja tak pernah ada yang menyambut kedatanganku, anak-isteri masih tidur.Kalau pengajian-pengajian itu jelas pengaruhnya pada jamaah sih tidak masalah. Ini tidak.

Pengajian-pengajian yang begitu intens dan begitu tinggi volumenya itu sepertinya hanya masuk kuping kanan dan langsungkeluar lagi dari kuping kiri. Tak membekas.

Buktinya mereka yang bakhil ya tetap bakhil, yang hatinya kejam ya tetap kejam, yang suka berkelahi dengan saudaranya ya masih tetap berkelahi, yang bebal terhadap penderitaan sesama juga tidak kunjung menjadi peka, yang suka menang-menanganya tidak insaf.

Pendek kata, seolah-olah tidak ada korelasi antara pengajian dengan mental mereka yang diberi pengajian. Kadang-kadang aku berpikir, apakah masyarakat kita ini suka pengajian hanya seperti hobi saja. Kelangenan.

Mungkin juga karena mubalig sering mengemukakan besarnya pahala mendatangi pengajian tanpa lebih jauh menjelaskan makna “menghadiri pengajian” itu.

Jadi, orang menghadiri pengajian “sekedar” cari pahala. Yang penting hadirnya, tak perduli hadir terus tidur, melamun, ngobrol sendiri, atau hanya menikmati kelucuan dan “keberanian” mubalignya.

Kok tidak ada ya yang mensurveikejadian ini, misalnya meneliti sejauh mana pengaruh ceramah agama terhadap perilaku masyarakat yang menerima ceramah, pengaruh positifnya apa, negatifnya apa, dan sejauh mana peranannya dalam memperbaiki mental masyarakat? Tapi baiklah.

Biarkan aku bercerita saja tentang penglamanku.

Mula-mula kejadian yang kualami aku anggap biasa. Tapi setelah berulang sampai lima-enam kali, aku jadi kepikiran. Biasanya setiap selesai memberi pengajian selalu saja aku harus melayani beberapa jama’ah yang ingin bersalaman denganku.

Pada saat seperti itu, sehabis memberi pengajian di satu desa, ada seseorang yang memberi salam tempel, bersalaman sambil menyelipkan amplop berisi ke tanganku.

Pertama aku tidak memperhatikan, bahkan aku anggap orang itu salah satu dari panitia. Setelah terjadi lagi di daerah lain yang jauh dari desa pertama, aku mulai memperhatikan wajah orang yang memberi salam temple itu.

Pada kali-kali lain setelah itu, di tempat-tempat yang berbeda dan berjauhan, kulihat memang yang memberi salam tempel orangnya yaitu-itu juga.

Orang yang selalu memakai baju hitam-hitam. Wajahnya yangbersih dan senyumnya yang misterius itu kemudian terus membayang.

Dia selalu hanya mengucapkan salam, tersenyum misterius, dan bersalaman sambil menyelipkan amplop. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Amplopnya selalu sama. Buatan sendiri dan berwarna abu-abu. Jenis warna kertas yang aku kira jarang ada di desa-sesa.Aku tak habis pikir, bagaimana orang itu bisa selalu ada dalam pengajian yang tempatnya berjauhan.

Aku bukanlah mubalig kondang yang setiap tampil di pengajian diberitakan pers. Bagaimana orang itu bisa hadir ketika aku mengisi pengajian di sebuah dusun terpencil di Jawa Timur dan hadir pula di pengajian

yang dilaksanakan di sebuah desa di ujung barat Jawa Barat, lalu hadir pula ketika di luar Jawa?

Darimana dia mendapat informasi?

Atau dia selalu membuntutiku?

Tidak mungkin. Musykil sekali.

Setiap kali aku mendapat “amplop”, dari mana atau dari siapa saja, aku tidak pernah membukanya. Langsung aku berikan isteriku.

Aku tak ingin hatiku terpengaruh oleh isinya yang mungkin berbeda-beda satu dengan yang lain, lalu tumbuh penilaian berbeda terhadap pihak –pihak yang memberi amplop.

Apalagi jika kemudian membuatku senang dan selalu mengharap menerima amplop. Na’udzu billah. Namun setelah enam kali berjumpa dengan lelaki berpakaian hitam-hitam itu, tiba-tiba aku ingin sekali mengetahui isi amplop-amplopnya yang diselipkannya di tanganku setiap usai pengajian-pengajian itu.

“Bu, kau masih menyimpan amplop-amplop yang kuberikan kepadamu?” aku bertanya kepada isteriku.

“Sebagian masih” jawab isteriku, “sebagian sudah saya pakai mengamplopi sumbangan-sumbangan yang kita berikan kepada orang.”

“Coba kau bawa kemari semua!"

Isteriku memandangiku agak heran, tapi dia beranjak juga mengambil amplop-amplop bekas yang ia simpan rapi di lemari pakaiannya.

“Banyak juga,” pikirku sambil menerima segepok amplop yang disodorkan isteriku.

Isteriku memandangiku penuh tanda tanya saat aku mengacak-acak amplop-amplop itu seperti mencari sesuatu.

“Ini dia!” kataku, membuat isteriku tambah heran.

Aku menemukan amplop-amplop persegi empat berwarna abu-abu yang kucari, lima buah jumlahnya.

“Lho, yang seperti ini Cuma ini, Bu? Hanya lima?”

“Ya nggak tahu,” sahut isteriku.

“Memangya ada berapa? Setahuku ya cuma itu.

Aku tidak mengusutnya lebih lanjut, mungkin justru aku yang lupa menghitung pertemuanku dengan lelaki misterius itu, lima atau enam kali. Aku memperhatikan dengan cermat lima amplop abu-abu itu.

Ternyata di semua amplop itu terdapat tulisan berhuruf Arab kecil-kecil, singkat-singkat, dan masing-masing ada tertera tanggalnya.

“Ada apa, Pak?” Tanya isteriku tertarik sambil duduk di sampingku.

Aku tak menghiraukan pertanyaannya. Aku mencoba mengurutkan tanggal-tanggaldi lima amplop itu.

Kemudian membaca apa yang tertulisdi masing-masing amplop secara berurutan sesuai tanggalnya. Aku kaget. Semuanya justru nasihat untukku sebagai mubalig yang biasa mensihati orang.

Aku pun menyesal mengapa amplop-amplop itu tidak aku buka pada waktunya.Amplop pertama kubaca:

“ ‘Ud’uu ilaa sabiili Rabbika bilhikmati walmau’izhatil hasanah (Ajaklah orang ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik). Genuk, Semarang, 8 Juli 2001.

”Amplop kedua: “Sebelum Anda menasihati orang banyak, sudahkah Anda menasihati diri Anda sendiri? Cilegon, 11 Juli 2001.

”Amplop ketiga: “Amar makruf dan nahi munkar seharusnya disampaikan dengan cara yang makruf juga. Beji, Tuban, 10 September 2001.

”Amplop keempat: “Yasirruu walaa tu’assiruu! (Berikan yang mudah-mudah dan jangan mempersulit!). Duduk, Gresik, 4 Januari 2002.

Dan amplop kelima: “Ya ayyuhalladziinaaamanu lima taquuluuna malaa taf’aluun! (Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang kau sendiri tidak melakukannya?.Besar sekali kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kau sendiri tidak melakukannya!).Batanghari, Lampung Timur, 29 April 2002.

”Aku mencoba mengingat-ingat apa saja yang pernah aku ceramahkan di tempat-tempat di mana aku menerima amplop-amplop itu.

Ternyata aku tidak bisa mengingatnya. Bahkan aku tidak ingat apa saja yang aku bicarakan pada kesempatan-kesempatan lainnya.

Ternyata aku lupa semua yang pernah aku katakan sendiri.

Ah.. Siapapun orang itu—atau jangan-jangan malaikat—aku merasa berutang budi. Sebagai mubalig, pekerjaanku hanya memberi nasihat.

Jadi memang jarang sekali aku mendengarkan nasihat.

Aku sungguh bersyukur ada yang menasihatiku dengan cara begitu, sehingga sebagai mubalig, aku tidak perlu kehilangan muka.

Aku jadi mengharap mudah-mudahan bisa bertemu lagi dengan lelaki berpakaian hitam-hitam dan berwajah bersih itu di pengajian-pengajian mendatang.

“Kau masih ingat isi dari amplop-amplop ini?” tanya

ku pada isteriku yang masih seperti bingung memperhatikanku.

“Siapa yang tidak ingat isi amplop-amplop itu?
Kalau yang lain mungkin aku lupa. Tapi amplop-amplop warna abu-abu itu aku tidak bisa lupa. Soalnya semua isinya sama, selalu dua ratus ribu rupiah.

Malah semuanya masih saya simpan.“Masih kau simpan?” kataku kaget campur gembira.

“Jadi semuanya masih utuh? Berarti semuanya ada satu juta rupiah?”

“Ya, masih utuh. Wong aku tidak pernah mengutik-utik uang itu. Rasanya sayang, uangnya masih baru semua, seperti baru dicetak. Aku simpan di bawah pakaian-pakaianku di lemari,” ujar isteriku sambil beranjak ke kamarnya, mau mengambil uang yang disimpannya.

Aku menunggu tak sabar. Tak lama kemudian tiba-tiba,

“Paaak!” Terdengar suara isteriku berteriak histeris.

“Lihat kemari, Pak!”

Aku terburu-buru menghambur menyusulnya ke kamar.

Masya Allah.

Kulihat lemari pakaian isteriku terbuka dan dari dalamnya berhamburan uang-uang baru seratus ribuan, seolah-olah isi lemari itu memang hanya uang saja. Isteriku terpaku dengan mata terbelalak seperti kena sihir, melihat lembaran-lembaran uang yang terus mengucur dari lemarinya.

Dalam takjubku, aku sendiri masih melihat sebuah amplop abu-abu ikut melayang di antara lembaran-lembaran uang itu. Aku segera menangkapnya

Nah, ini dia yang satu lagi. Jadi benar hitunganku, enam kali aku bertemu lelaki itu. Ini amplop keenam.Tanpa mempedulikan istriku yang masih bengong memandangi lembaran-lembaran uang yang berterbangan, aku amati amplop itu seperti mengamati amplop-amplop lainnya tadi.

Dan ternyata di sini juga terdapat tulisan Arab kecil-kecil.

Isinya, “Wamal Hayaatud Dun-ya illa mataa’ul ghurur! (Kehidupan duniawi itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan!). Arafah, 9 Dzulhijjah 1418.

”Tidak seperti amplop-amplop lainnya, yang satu ini juga ada tertera namadan tanda tangan, “Hamba Allah, Khidir!”

Tahun 1418 aku memang naik haji, tapi aku tidak ingat pernah bertemu lelaki berpakaian hitam-hitam dan berwajah jernih itu.

Rasanya di Arafah semua orang berpakaian putih-putih.

SubhanAllah!
_____________________
Disadur dari buku beliau, Kumpulan Cerpen "Lukisan Kaligrafi"-

[22/9 14:30]

Senin, 15 Mei 2017

Supervisor?



oleh: Penulis

Seperti yang dapat kita ketahui bahwa hakikat pemimpin adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk memengaruhi perilaku orang lain dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. kekuasaan adalah kemampuan untuk mengarahkan dan memengaruhi bawahan sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakannya. 

Dari pengertin diatas dapat disimpulkan bahwa pemimpin tidak bisa bekerja sendirian. tercapainya tujuan organisasi terletak pada kemampuan pemimpin mengatur pekerja, peralatan dan pekerjaan agar berjalan sesuai tujuan yang ditetapkan bersama, kemampuan menejerial inilah yang dibutuhkan demi terwujudnya sekolah dan pemimpin yang efektif. 

Peran pemimpin yaitu sebagai kepala yang haus mampu mendelegasikan tugas-tugas pada orang-orang yang tepat, menentukan tanggal waktu dan tempat yang tepat bagi suatu program sekolah. selanjutnya harus mampu mendorong setiap bawahannya untuk melaksanakan tugas-tugasnya sesuai standar yang berlaku. karena itu pemimpin harus mempunyai kemampuan komunikasi yang baik (intrapersonal) dengan bawahan, sehingga tidak terjadi salah paham dalam komunikasi. [1]



Dari postingan pertama tentang Perjalananku Hari Itu ke tempat yang pertama itu adalah sebuah sekolah yang berbasis pesantren. Pesantren berbasis sekolah atau yang biasa disebut Terpadu (memadukan antara kurikulum pesantren dan sekolah). yang pada abad 21 ini digadang-gadangkan sebagai sistem pembelajaran yang sangat efektif dan mendekati sempurna. 
Dilihat dari bangunan atau infrastruktur, kegiatan belajar mengajar, kurikulum, mengikuti pendahulunya yang ada sejak abad 20-an. akan tetapi banyak lembaga pendidikan yang salah kaprah dalam mengaplikasikan sistem tersebut. dikarenakan berbagai faktor. 

Sedangkan pada objek ini saya berfikir bahwa apa yang menjadikan sistem tersebut kurang baik diaplikasikan pada tempat tertentu. syangnya saya kurang mengkaji lebih dalam tentang itu karena beberapa pertimangan yang udah saya jelaskan di postingan sebelumnya. Yang menerangkan sebab utama pada lembaga ini adalah tidak adanya kontroling dari pihak yang mempunyai lembaga tersebut. Maka diambil alih oleh pihak tertentu atau bisa jadi ditugaskan. Akan tetapi sangat tidak baik bagi suatu lembaga jika terjadi hal tersebut, yang seharusnya setiap saat mengontrol perkembanganya malah bekerja untuk orang lain.

Loncat ke tempat yang kedua pada postingan Galaupun Melanda, Antara Sudahi atau Lanjutkan, nah kali ini agak mendingan dari tempat pertama dari segi, jarak tidak terlalu jauh. Lokasi yang tidak strategis agak membingungkan juga karena teman saya susah dihubungi kesananya jadi timbul rasa malas. Meskipun begitu tetap berusaha untuk mendatangi tempat teman saya itu.

Beruntung tidak jauh dengan tempat pertama yaitu sebuah sekolah, akan tetapi tidak berbasis pesantren. dan yang paling membingungkan lagi disebuah tempat ini ada beberapa jenjang sekolah bahkan sebelumnya dibuka kelas perkuliahan juga. akan tetapi tidak lama. awalnya itu yang membuat saya tertarik untuk mengunjungi tempat teman saya tersebut.



Cukup unik Sekilas Sejarah Singkat dari yayasan tersebut. Pertama mulai dar pendirinya yang sangat menerima keadaan tempat dan tentunya keadaan dirinya yang serba kekurangan. tetapi tidak putus asa dan putus semangat. ternyata dibalik itu semua ada sesuatu yang unik yaitu dia menerima anak didiknya tanpa memungut biaya sepeserpun dan dapat dipastikan yang ingin belajar disana bisa mendapatkan itu diantaranya jika ayah atau ibunya sudah meninggal atau yatim piatu dan tuna netra.
Tiap pagi mereka diwajibkan bangun sekitar jam 03.00 wib. untuk apa? ya, solat tahajjud berjamaah. siapa saja yang harus solat tahajjud berjamaah? diantaranya ada staf guru/ustadz, para santri, para pekerja dan keluarga yang punya yayasan. setelah itu mereka solat subuh berjamaah. Yang perlu diketahui bahkan mereka diwajibkan solat berjamaah 5 waktu. Meskipun terdengarnya agak sudah biasa, akan tetapi walau bagaimanapun itu adalah sesuatu yang sangat memberatkan bagi kita seorang yang awam. Selesai melaksanakan solat tahajjud ustadz pun memimpin pengajian rutin dan yang diwajibkan hanya tunanetra saja.
Dilanjutkan setelah solat subuh mereka bergegas bersiap-siap untuk bersekolah yang masih berada di lingkungan tersebut. Dikarenakan bukan berbasis pesantren, sekolah ini menerima murid dari luar komplek yayasan tersebut.

Ada beberapa program yang unik untuk santri disana. yaitu infaq sebesar 20 % yang didpatkan oleh para pekerja disana, termasuk para santri juga. darimana mereka bisa mendapatkan pemasukan? ada kebiasaan unik yang dimiliki santri, yaitu undangan dari orang kaya untuk mengadakan tahlil atau syukuran. Bahkan dalam seminggu undangan tersebut sampai 5 kali, tetapi karena banyaknya santri jadi digilir.

Sebenarnya yang bikin saya penasaran adalah sistem kepemimpinan pada sekolah-sekolah di Yayasan tersebut. Pasti tidak terlepas dari orang-rang hebat yang memimpinnya. mungkin itu sebuah pekerjaan saya untuk selanjutnya.

 [1] Musfah Jejen, Manajemen Pendidikan. Jakarta: Prenadamedia grup, 2015

Senin, 08 Mei 2017

Sekilas Sejarah


oleh: Penulis

Hari ini tepatnya tadi pukul 09.00 wib. Saya bergegas pergi ke tempat teman saya itu yang bernama mas ruh. Dengan mengendarai si hitam manis yang selalu menemani kemanpun pergi, memakai helm lengkap dengan jeket biasa berwarna blaster abu dan biru, plus celana coklat yang cukup dekil, tak lupa sandal japit yang jepitan sebelah kirinya mulai copot. 

"ngeeeeeeng ngeeeeng.." suara si hitam manis mulai berjalan. melewati kemacetan jakarta yang sudah biasa, rasanya tidak bisa dipungkiri oleh warga jakarta. mau tidak mau harus melewatinya, walaupun ada rasa malas sedikit. 

Sampai di lokasi seperti biasa pukul 10.00 wib. bergegas bersama teman saya yang bernama mubarak dengan lengkap memakai jaket hitam, helm, celana jeans dan sepatu yang biasa dia pakai. lalu menemui mas ruh. 

Suasana disana hening tanpa keriuhan, sapa mas ruh dengan memakai kaos dan celana panjang "hei.. disini sekarang lagi pada libur bro.." pikirku, "kok libur terus ya? minggu sebelum-sebelumnya juga sama seperti sekarang kedaan sedang libur" 
"Bro kenapa libur lagi nih?" tanyaku kepada mas ruh, "Iya nih lagi pada ujian akhir sekarang.. nah kalo disini nih kan ada beberapa jenjang sekolah, kalo ada salah satu yang ujian akhir pasti kelas yang lainnya diliburkan alias libur bro" jawab dia dengan tangkas "oohh kaya gitu.. haha, enak dong" jawabku dengan keheranan.
"sekarang kita ke ruangan saya aja yuk.. nanti saya ceritakan sejarah singkat terbentuknya yayasan ini" ajak mas ruh. 

"Jadi gini bro.. Yang mendirikan yayasan ini adalah seseorang yang tidak punya apa-apa dan merantau dari daerah sumatera. Dia hanya bermodalkan bisa ceramah. pertama kali sebelum ini berdiri ini adalah sebuah kebun yang tidak terurus atau tepatnya rawa dan sebuah pembuangan bayi, tempat maksiat.. Pokoknya penuh tragedi yang kurang menyenangkan." 

"Seiring berjalannya waktu karena belau penuh dengan jadwal ceramah bertemulah dengan seorang yang dermawan. dialah seorang yang kaya dan berniat membantu ust tersebut untuk membelikan tanah dan dijadikan lembaga pendidikan." aku memperhatikan dengan teliti.

"Pertama ust ini mendirikan masjid. Waktu demi waktu berjalan dan berdatanganlah orang-orang yang ingin belajar mengaji kepadanya. Sedangkan mereka bersekolah diluar lingkungan masjid tersebut." lanjut dia.

"Seiring bertambahnya santri di lembaga tersebut sehingga masjid tidak bisa menampung lagi jumlah santri. Inisiatif sang ustadz pun yaitu membangun rumah sederhana bersama para santri yang akhirnya untuk tempat mereka tinggal juga. Yang sekarang rumahnya bertempat dibelakang gedung,  berwarna hijau." bercerita sambil menunjukan tempat.




"Waktu itu dengan bertambahnya barakah tempat tersebut ustad tersebut bertambah padat pula jadwal ceramahnya. Dibangunlah gedung sekolahan yang sekarang lantai satu sampai lantai empat. Pada awlanya difungsikan hanya untuk pendidikan jenjang SD, lalu beberapa tahun kemudian diadakan Mts. Setelah itu dibangun gedung asrama putri dan aula serta klinik. Tidak lama kemudian berlanjut mendirikan SMK dan MA, dan akhirnya dibangun gedung putih yang ditengah-tengah komplek yang didepan gedung putera." sambil menujukan lokasinya lagi.

"Semakin kesini yayasan semakin maju dan berdiri cabang sekolahan dari yayasan tersebut, ada yang di daerah deket sini, bahkan di sumatera dan lain sebagainya. Sehingga melahirkan tusan santri yang santrinya berkategori yatim atau piatu serta tuna netra, dan para santri tidak dipungut biaya sepeserpun di asrama. Bahkan yang sudah yatim piatu diberikan biaya sekolah, jajan dan lainnya. Nah ada satu lagi nih yang uniknya, dia tidak diharuskan mengabdi di yayasan tersebut". setelah bercerita panjang sambil menarik nafas panjang. 

"waaahhhhh enak ya" jawabku.. 

Singkat cerita seperti itu. 
Hikmahnya yang dapat kita ambil bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Selagi kita berniat untuk selalu memberi apa yang kita punya pasti ada jalan yang selalu Dia berikan.

Senin, 10 April 2017

Lanjutkan Saja



oleh: Penulis

Disela-sela kegiatan indoor spontan saya bertanya "kang gimana nih mau dilanjut atau tidak?" tanya saya kepada teman, sebut saja namanya Mubarok, perawakannya cukup lebih ramping daripada saya. "yasudah kang pindah saja ke tempat teman saya. di

Tidak lama, selang beberapa hari kemudian kita menentukan tanggal untuk maen kesana. 

Dengan beberapa pertimbangan minggu kemarin yang sudah saya paparkan di tuisan sebelumnya Galau, sudahi atau lanjutkan saya memutuskan untuk berpindah lokasi yang tadinya di daerah depok, sekarang berpindah ke lokasi yang lebih dekat dengan tempat tinggal saya. yaitu bertempat di daerah pondok cabe 1, kira-kira lebih dekat 4 km dari yang kemarin dengan jarak tempuh 32 menit menurut Google Map dan itupun kalau tidak terjadi sebuah insiden. wow insiden apa? tentunya sebuah kemacetan yang sudah tidak asing. bisa sampai satu jam perjalanan atau paling cepat sekitar 45 menit. belum lagi kalau kena razia polisi.

Singkat cerita saya bersama mubarok untuk pergi ke lokasi dan berangkat dari tempat tinggal saya sekitar jam 09.00 wib, pastinya dengan mengendarai motor (si hitam manis) keluaran tahun 2008. cukup tua bagi sebuah alat transportasi roda dua. memakai jeket switer celana panjang coklat dan helm full face hitam dan tidak lupa memakai sandal, "ngeeeng" suara motor berjalan perlahan.

Sesampainya di lokasi tanpa basa-basi masuk ke gerbang sekolah, tidak lama dari kejauhan ada yang menghampiriku dan berkata "hai..", kelihatannya dia lagi santai, memakai sarung dan berkaos sambal berjalan melambaikan tangan. "hai mas ruh.." jawabku. sambil berjabat tangan dia bertanya "gimana kabarnya mas bro? ayo kita ke dalam" mengajaku dan mubarok ke kamarnya untuk beristirahat. "jadi gini mas bro, sekarang itu anak-anaknya lagi UTS. jam segini sudah pada pulang" dia mencoba menjelaskan keadaan disana.

Kesan pertama kali melihat situasi dan kondisi yang berada disana, "woooww.." suatu Yayasan dengan berbagai macam jenjang, dari mulai kanak-kanak hingga mengah keatas. dan disitulah sesuatu yang bikin saya penasaran, "kok bias ya, suatu lembaga, suatu tempat ada berbagai macam jenjang pendidikan? apakah tidak mengganggu anak-anak lainnya? apakah biasa? apakah tidak ada complain?"



Itu akan menjadi sebuah PR besar bagi saya
daerah pondok cabe tangerang selatan." jawab dia. sebut saja namanya Mas Ruh, panggilan teman saya yang di pondok cabe itu.

Senin, 27 Maret 2017

Galau, Sudahi Atau Lanjutkan



oleh: Penulis

Setelah kemarin berjalan ke suatu tempat pada postingan pertama sebuah perjalanan ke tempat yang lumayan jauh, dan kali ini saya mengunjungi tempat tersebut untuk beberapa hal. 

Hal yang pertama dikarenkan belum diperbolehkan masuk karena tidak ada surat tugas, yang kedua karena lokasinya pun tertutup oleh gerbang dan sedang tidak ada penjaganya dan yang paling unik yang bikin kurang enak adalah penerimaan dari seseorang disuatu tempat tersebut ketika menyodorkan persyaratannya. 

Berangkat dari tempat saya di daerah jaksel ke daerah depok ternyata lumayan jauh, dengan menempuh perjalanan kurang lebih 45 menit menuju tempat kakaknya teman saya.

"Hei kang" sapa dia "Hei.. gimana nih mau langsung aja ke lokasi?" ujarku dengan nada semangat. "Oh iya ayo sekarang aja" jawab dia. "kita kesana berangkat pakai motor saya aja.." spontan dia menjawab "oh iya kang nanti balik lagi kesini ya.." jawabku.

"Breeemmm breeem" suara motor berjalan.

Sesampainya dilokasi, kebetulan berpapasan dengan anak santri disana. Spontan "ada ust nya gak?" tanya saya ke anak yang baru saja keluar komplek, "Iya ada di dalam" jawab santri. Dengan rasa setengah percaya diri saya dan teman saya menghampiri kamarnya yang berada di dalam, di asrama laki-laki. "Assalaamu'alaikum,, tok tok tok.." berulang kali diketuk belum keluar juga, seketika ada suara "wa'alaikumsalaam" jawab dia dengan kondisi rambut masih basah kelihatannya baru selesai mandi dan menggunakan kaos serta sarung. Saya menyodorkan surat permohonan izin "ini ust surat tugasnya", sambil diterima olehnya dia mengajak untuk duduk di luar kamar tersebut yang berupa aula tempat para anak-anak belajar. "Oh gitu, yasudah silahkan" dengan tanpa basa basi dia menjawa dan dengan muka yang kurang enak dilihat dan kurangnya penyambutan terhadap seorang tamu.

Tidak lama berbasa basi langsung pamit pulang,  "Kalau begitu saya dan teman saya mau pamit pulang saja ust" permohonanku kepadanya, "Oh iya silahkan" jawab singkat dia. Tidak lupa bersalaman dengan beliau dan mengucapkan salam.

Seletah berada diluar teman saya pun berbisik, "Kang kok begitu ya penerimaannya?" Tanya dia dengan heran. Jawab saya "Iya mungkin kurang berkenan kang".



Kesimpulan dan hemat saya dari pertemuan diatas spertinya kami kurang bagus untuk melanjutkan ke pertemuan selanjutnya. 

Selasa, 14 Maret 2017

Perjalananku Hari Itu


Ada yang tau apa saja yang ada dalam pikiranku ini?




Jarak..
Waktu..
ya sebuah jarak dari suatu titik ke tempat tujuan yang bisa ditempuh dengan waktu 31 menit ketika malam, berjarak 13 km dari titik awal.
Tepatnya di Jl. Serua Bulak Raya No. 68, Pondok Petir, Bojongsari, Kota depok, Jawa Barat 16517

Sebuah lembaga modern di daerah sawangan depok yang cukup jauh dari tempat tinggalku di daerah jaksel.
Pertama kali melihat bangunannya cukup besar dan luas, suasananya pun lumayan  "Akan tetapi mengapa anak-anak sekolahan belum ada ya? padahal waktu sudah menunjukan pukul 06.30 wib." ujar satpam disekolah itu.

Anak-anak tampak bergegas pada pagi hari itu memakai seragam khasnya berbaju koko dan bercelana hitam lengkap dengan peci hitamnya, membawa sebagian buku yang akan dipelajarinya.

Sedangkan kaum hawa memakai baju layaknya anak sekolahan dengan memakai kerudung yang rapih tidak jauh beda warna kostum mereka dengan kaum adam, lengkap bersepatu dan menggendong tasnya masing-masing.
Awal mulanya tau tempat ini mengantar senior mewawancarai salahsatu ustadz di lembaga ini.

Sempat terfikirkan "ah cukup sendirian kesana, karena sudah tau situasi dan kondisi" akan tetapi saya berfikir lagi "kalau sendirian mungkin terlalu egois bung!, wah kayanya temanku yang tidak jauh jaraknya dari sana bisa menemaniku untuk melihat-lihat objek yang dituju. Diapun meng'iya'kan dan kita berangkat menyusul ke rumah kakaknya.



Sebelum berangkat saya konfirmasi dahulu kepada teman yang berada disana. "mas sudah membereskan administrasinya belum? surat tugas" ujar dia, "waduh surat tugas? kita kan belum bikin" bertanya kepada teman. Kalau gitu kita bikin dulu saja suratnya, hari sabtu depan kita berangkat kesana lagi.

Kedua kalinya datang ke tempat itu hari sabtu dan waktu menunjukan pukul 13.00 wib dengan perasaan ragu menghampiri dan mendekat, "akan tetapi kok yang datang ke sekolah hanya segelitir orang? pedahal kan ini bangunanya luas dan cukup besar.." perkataanku dalam hati. Ternyata pelajaran sudah berakhir karena hari ini biasanya pelajaran sampai dzuhur saja dan hanya mengikuti kegiatan Ekstrakulikuler.